Berdasarkan Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2011, tanggal 22 Juni 2011 tentang pengamanan eksekusi terhada obyek jaminan fidusia agaknya ‘dilecehkan’ oleh lembaga pembiayaan (Leasing). Buktinya, banyak debt collector yang seringkali melakukan tindakan yang tidak prosedural alias seenaknya sendiri.
Padahal,
eksekusi obyek jaminan fidusia dapat dilakukan jika memenuhi syarat, seperti
ada permintaan dari pemohon, memiliki akta jaminan fidusia, jaminan fidusia
terdaftar pada kantor pendaftaran fidusia, memiliki sertifikat jaminan fidusia
dan jaminan fidusia berada di wilayah negara Indonesia.
“Kalau
situasi ini dibiarkan oleh Polri, maka bisa dimungkinkan terjadi perang antar
kelompok di masyarakat,” papar Romi SH, Tim Penasihat Hukum Ormas Sundawani di
Bandung Barat, Rabu (3/10/2012).
Romi
mendesak agar Polri juga dapat bertindak profesional. “Kami berharap Perkap
(Peraturan Kapolri-red) jangan mandul. Karena, Polri sudah ‘tutup mata’ melihat
maraknya perampasan obyek jaminan fidusia,” tegas Romi.
Sebelumnya,
seorang wanita paruh baya bersama temannya dipaksa turun dari mobil yang
ditumpanginya. Gerombolan debt collector dengan mengendarai mobil Honda Jazz
dan 4 motor memepet mobil yang ditumpangi para wanita itu. “Di depan Apartemen
Mutiara dekat Tol Bekasi Barat hari Selasa (2/10/2012) pukul 21.00 WIB, kami
dipaksa turun dan dibiarkan begitu saja oleh gerombolan collector ACC,” kata
Juita, warga Bandung Barat kepada LICOM.
Juita mengatakan, dirinya meminjam mobil yang masih
dalam proses penyelesaian pembayaran cicilan alias tertunggak. “Untuk mengurusi
kerjaan di Bekasi, kami ke Bekasi di hari itu.
Dan di malam itu, kami benar-benar merasa diperlakukan secara tidak manusiawi,”
jelas Juita.
Juita dan
temannya terpaksa menyewa taksi untuk bisa kembali pulang ke Bandung Barat.
“Jam 2 pagi, saya baru bisa sampai di rumah,” tegasnya.
Sementara,
sumber LICOM menyebutkan, jika konsumen nunggak membayar cicilan hingga
beberapa bulan, biasanya leasing menurunkan debt collector untuk menagih
konsumen agar membayar. Namun, dalam proses ini biasanya debt collector sudah
tidak lagi menagih pembayaran hutang, tetapi berusaha mengambil kendaraan yang
dibeli oleh konsumen. Ada dugaan, para debt collector tersebut bukan karyawan
finance, tetapi tenaga lepas yang dibayar apabila berhasil menyita kendaraan
milik konsumen.
Tragisnya
lagi, jika konsumen bisa membayar biasanya finance mengenakan biaya tambahan
guna membayar debt collector tadi. Biaya tersebut biasanya disebut ganti biaya
tarik, biaya pick up, pinalti atau istilah-istilah lain tergantung finance.
“Dalam
melakukan kegiatannya debt collector sering bertindak seperti preman agar
konsumen membayar ataupun menyerahkan kendaraannya, seperti merampas, menteror,
merusak, memaki ataupun cara-cara premanisme lainnya,” jelas sumber yang enggan
disebutkan namanya.
www.lensaindonesia.com
1 komentar:
itu benar.....yang lebih lagi para sarjana yang gak mau memahami atauran hukum dinegara ini juga bodoh....mau jadi antek-anteknya finance dengan cara-cara kekerasan...
Posting Komentar