Banyak orang tidak ingat, atau bahkan mungkin tidak tahu bahwa yang
dikenal sebagai “Sumpah Pemuda” sesungguhnya sama sekali bukan sumpah.
Saat disampaikan dalam Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928, bentuknya
bukan tiga baris seperti yang kita kenal sekarang, melainkan bagian dari
naskah yang lebih panjang, yang berjudul “Poetoesan Congres
Pemoeda-Pemoeda Indonesia”.
Baru pada pertengahan 1950-an, Presiden Soekarno mengusulkan agar
peristiwa itu diperingati. Saat itu, pemerintah menghadapi gejolak
politik yang riuh di banyak daerah. Mereka memerlukan klaim sejarah yang
kuat untuk memadamkan gerak sentrifugal ini di tingkat pemikiran dan
legitimasi. Tentu saja tidak ada yang lebih ampuh daripada pernyataan
kaum muda yang bersepakat mengatasi perbedaan di antara mereka dan
mengaku bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa
persatuan. Di titik inilah tiga baris pernyataan itu diangkat statusnya
menjadi ‘sumpah’.
Masalahnya sekarang, sumpah ini sudah kehilangan pesona. Gerak
sentrifugal kembali menguat bukan hanya karena perbedaan etnik, melai
ditambah lagi dengan agama dan ras. Orang masih mengucap sumpah yang
sama setiap tahun, seperti merapal makna yang tak diketahui artinya,
tetapi diyakini akan mendatangkan kebaikan. Sebuah pernyataan penting
dalam sejarah kini terancam jadi fosil justru karena orang melupakan
sejarahnya.
Untuk itu, saya kira perlu juga kita menengok kembali latar belakang
sejarah dari “sumpah” ini, bukan untuk mengembalikan pesonanya sebagai
sebuah mantra, melainkan untuk mengembalikan harkatnya sebagai
pernyataan politik dan kebudayaan yang penuh inspirasi.
Keping yang Dilupakan
Naskah ini seperti terlihat dari judulnya adalah sebuah keputusan untuk menerima “Indonesia” sebagai landasan perjuangan. Inilah makna simboliknya yang penting. Perbedaan dan perselisihan di antara berbagai etnik dan daerah, yang selama berabad-abad dieksploitasi oleh penguasa kolonial dengan politik divide et impera, berhasil diatasi. Setidaknya di tingkat retorika. Namun, yang amat penting dari Poetoesan Congres ini adalah uraian selanjutnya yang kemudian sama sekali diabaikan dalam pelajaran sejarah, apalagi upacara bendera. Karena tidak banyak lagi orang yang ingat, atau mungkin juga tidak pernah tahu. Saya kutip agak lengkap di sini:
Naskah ini seperti terlihat dari judulnya adalah sebuah keputusan untuk menerima “Indonesia” sebagai landasan perjuangan. Inilah makna simboliknya yang penting. Perbedaan dan perselisihan di antara berbagai etnik dan daerah, yang selama berabad-abad dieksploitasi oleh penguasa kolonial dengan politik divide et impera, berhasil diatasi. Setidaknya di tingkat retorika. Namun, yang amat penting dari Poetoesan Congres ini adalah uraian selanjutnya yang kemudian sama sekali diabaikan dalam pelajaran sejarah, apalagi upacara bendera. Karena tidak banyak lagi orang yang ingat, atau mungkin juga tidak pernah tahu. Saya kutip agak lengkap di sini:
“[kerapatan] mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannja:
KEMAOEAN
SEDJARAH
BAHASA
HOEKOEM ADAT
PENDIDIKAN DAN KEPANDOEAN”
SEDJARAH
BAHASA
HOEKOEM ADAT
PENDIDIKAN DAN KEPANDOEAN”
0 komentar:
Posting Komentar