Tepo Seliro..Unggah-Ungguh..Toto Kromo..Sopan Santun..Andap Asor..Toleransi..Tenggang Rasa dan Budi Pekerti
PERLINDUNGAN KONSUMEN WAJIB DI LAKUKAN SESUAI UU NO 8 TAHUN 1999, UU NO 42 TAHUN 1999, PER.KAPOLRI NO 8 TAHUN 2011 FIF SANGAT TIDAK PATUH TERHADAP ATURAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, FIF TIDAK PERNAH MAU MENGIKUTI ATURAN DAN HUKUM DI WILAYAH RI HAK-HAK KONSUMEN BANYAK YANG TIDAK DIPENUHI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DI SIDOARJO MAYORITAS LEMBAGA PEMBIAYAAN RAMAI-RAMAI KEMPLANG PAJAK, PEMERINTAH DIAM SAJA PEMERINTAH SUDAH TIDAK LAGI MELAKSANAKAN PANCASILA, UU'45 DAN GBHN RAKYAT WAJIB MENDAPATKAN HAK HIDUP YANG LAYAK, SESUAI AMANAT PADA PEMBUKAAN UUD'45 SBY SUDAH LUPA TERHADAP JATI DIRI SEBAGAI BANGSA INDONESIA KEMENGANAN JOKOWI-AHOK ADALAH KEMENANGAN GERINDRA DAN PRABOWO JOKOWI-AHOK BERSIAP MENGHADAPI PARA PELAKU USAHA YANG SULIT DI ATUR

Sabtu, 11 Agustus 2012

SUMPAH PEMUDA, Sudah Di Lupakan


Banyak orang tidak ingat, atau bahkan mungkin tidak tahu bahwa yang dikenal sebagai “Sumpah Pemuda” sesungguhnya sama sekali bukan sumpah. Saat disampaikan dalam Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928, bentuknya bukan tiga baris seperti yang kita kenal sekarang, melainkan bagian dari naskah yang lebih panjang, yang berjudul “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia”.

Baru pada pertengahan 1950-an, Presiden Soekarno mengusulkan agar peristiwa itu diperingati. Saat itu, pemerintah menghadapi gejolak politik yang riuh di banyak daerah. Mereka memerlukan klaim sejarah yang kuat untuk memadamkan gerak sentrifugal ini di tingkat pemikiran dan legitimasi. Tentu saja tidak ada yang lebih ampuh daripada pernyataan kaum muda yang bersepakat mengatasi perbedaan di antara mereka dan mengaku bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan. Di titik inilah tiga baris pernyataan itu diangkat statusnya menjadi ‘sumpah’.

Masalahnya sekarang, sumpah ini sudah kehilangan pesona. Gerak sentrifugal kembali menguat bukan hanya karena perbedaan etnik, melai ditambah lagi dengan agama dan ras. Orang masih mengucap sumpah yang sama setiap tahun, seperti merapal makna yang tak diketahui artinya, tetapi diyakini akan mendatangkan kebaikan. Sebuah pernyataan penting dalam sejarah kini terancam jadi fosil justru karena orang melupakan sejarahnya.

Untuk itu, saya kira perlu juga kita menengok kembali latar belakang sejarah dari “sumpah” ini, bukan untuk mengembalikan pesonanya sebagai sebuah mantra, melainkan untuk mengembalikan harkatnya sebagai pernyataan politik dan kebudayaan yang penuh inspirasi.

Keping yang Dilupakan
Naskah ini seperti terlihat dari judulnya adalah sebuah keputusan untuk menerima “Indonesia” sebagai landasan perjuangan. Inilah makna simboliknya yang penting. Perbedaan dan perselisihan di antara berbagai etnik dan daerah, yang selama berabad-abad dieksploitasi oleh penguasa kolonial dengan politik divide et impera, berhasil diatasi. Setidaknya di tingkat retorika. Namun, yang amat penting dari Poetoesan Congres ini adalah uraian selanjutnya yang kemudian sama sekali diabaikan dalam pelajaran sejarah, apalagi upacara bendera. Karena tidak banyak lagi orang yang ingat, atau mungkin juga tidak pernah tahu. Saya kutip agak lengkap di sini:

“[kerapatan] mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannja:
KEMAOEAN
SEDJARAH
BAHASA
HOEKOEM ADAT
PENDIDIKAN DAN KEPANDOEAN”

0 komentar:

Posting Komentar