Tepo Seliro..Unggah-Ungguh..Toto Kromo..Sopan Santun..Andap Asor..Toleransi..Tenggang Rasa dan Budi Pekerti
PERLINDUNGAN KONSUMEN WAJIB DI LAKUKAN SESUAI UU NO 8 TAHUN 1999, UU NO 42 TAHUN 1999, PER.KAPOLRI NO 8 TAHUN 2011 FIF SANGAT TIDAK PATUH TERHADAP ATURAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, FIF TIDAK PERNAH MAU MENGIKUTI ATURAN DAN HUKUM DI WILAYAH RI HAK-HAK KONSUMEN BANYAK YANG TIDAK DIPENUHI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DI SIDOARJO MAYORITAS LEMBAGA PEMBIAYAAN RAMAI-RAMAI KEMPLANG PAJAK, PEMERINTAH DIAM SAJA PEMERINTAH SUDAH TIDAK LAGI MELAKSANAKAN PANCASILA, UU'45 DAN GBHN RAKYAT WAJIB MENDAPATKAN HAK HIDUP YANG LAYAK, SESUAI AMANAT PADA PEMBUKAAN UUD'45 SBY SUDAH LUPA TERHADAP JATI DIRI SEBAGAI BANGSA INDONESIA KEMENGANAN JOKOWI-AHOK ADALAH KEMENANGAN GERINDRA DAN PRABOWO JOKOWI-AHOK BERSIAP MENGHADAPI PARA PELAKU USAHA YANG SULIT DI ATUR

Selasa, 24 Juli 2012

Bang Ali, Bung Karni Kecil, (Roso Daras)

Mengapa julukan Sukarno Kecil harus dilayangkan ke Mahathir Mohammad? Julukan itu lebih pas untuk Bang Ali (Ali Sadikin). Nah, mari kita berbicara tentang calon gubernur Jakarta, juga tentang Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta periode 1966 – 1977.

Kebetulan, namanya selalu saja disebut-sebut di setiap ajang pemilihan gubernur DKI Jakarta. Masyarakat, dari yang tahu sampai yang tidak tahu, dengan lidah lepas dan hati ikhlas menyebut Bang Ali sebagai gubernur Jakarta terbaik sepanjang sejarah. Dialah yang dijadikan benchmark bagi gubernur-gubernur atau calon-calon gubernur Jakarta selanjutnya.

Kembali ke soal Bung Karno dan Bang Ali. Bung Karno muncul sebagai pemimpin bangsa dan negara ini di akhir kekuasaan penjajah. Ali Sadikin, muncul sebagai pemimpin Jakarta, di akhir masa kekuasaan Orde Lama di bawah kendali Bung Karno. Keduanya memimpin pada fase transisi. Yang satu dari era penjajahan ke era kemerdekaan, sedangkan, satunya memimpin ibukota dari sebuah orde ke orde yang lain. Masa transisi adalah masa sulit. Zaman berubah bagai dua sisi telapak tangan.

Indonesia patut bersyukur, karena Tuhan mengaruniakan, setidaknya dua makhluknya, untuk lahir dan berperan besar pada zamannya. Tak terbayang seandainya presiden pertama kita bukan Bung Karno. Tak terbayang pula, bagaimana jika periode 66-77 bukan Ali Sadikin yang memimpin Jakarta. Kedua mereka, adalah sosok pemimpin yang tegas, visioner, dan… ini yang terpenting… membumi! Berpijak pada prinsip, dan berpihak pada rakyat.

Bung Karno pun dalam masa perjuangan pernah membuat sejumlah kontroversi dengan romusha-nya… dengan mempekerjakan pelacur untuk serdadu Jepang, dan banyak langkah “unik” lainnya. Semasa menjadi presiden pun, Bung Karno membuat banyak kontroversi dengan kebijakan luar negerinya yang beringas, dengan gagasan membuat “PBB Tandingan”, dengan jargon Nasakom, dan banyak kebijakan lain, termasuk ide-ide yang dinilai sebagian orang sebagai “mercu suar”. Jika dibuat deret hitung, sangat panjang kebijakan-kebijakan Bung Karno yang sekilas kontroversi, dan berakhir sanjung dan puji.

Akan halnya Bang Ali…. Dia dengan berani menentang Menkeu Ali Wardhana dengan menolak membayar pajak (tentu dengan alasannya). Dia melegalkan perjudian dan melokalisasi para pelacur di Kramat Tunggak. Dia pernah memerintahkan membakar jenazah agar areal pemakaman bisa dimanfaatkan untuk pembangunan kota. Dia tidak berjalan menunduk-nunduk di depan menteri. Dia bahkan tak segan menempeleng kontraktor yang mbalelo. Bahkan ada kisah, Bang Ali memerintahkan sopirnya mengejar truk yang ugal-ugalan. Dihentikannya itu truk, disuruhnya turun itu sopir, dan ditempelenglah itu sopir. Setelah itu baru dinasihati.

Tidak berhenti di situ. Sebagai gubernur Jakarta, dia tahu betul kebesaran nama Muhammad Husni Thamrin sebagai tokoh Betawi yang begitu berjasa dalam pergerakan menuju kerdekaan Republik Indonesia. Karena itu, ia pampang nama MH Thamrin untuk jalan protokol Ibukota, dan ia jadikan nama proyek untuk pembangunan lingkungan Jakarta, atau dikenal dengan Proyek MH Thamrin.

Tentu tidak hanya itu. Di bidang politik. Ia (yang notabene seorang nasionalis), pernah merasa dipaksa mengetuai Golkar. Itulah kebijakan Orde Baru yang harus ia jalankan. Maka ia dengan lantang berkata, bahwa dirinya Golkar. Tetapi sebagai gubernur, ia gubernurnya semua partai. Ia pun tidak gusar ketika Pemilu 1977, Golkar dikalahkan PPP.

Walhasil, saya resah dengan celoteh Megawati Sukarnoputri yang menyebut Jokowi sebagai penerus Ali Sadikin. Bagaimana seseorang diberi stempel selagi belum bekerja? Bagaimana seseorang diberi label selagi belum terpilih? Menjadi aneh kan, kalau berharap Jokowi meneruskan Ali Sadikin? Jokowi tidak akan bisa (berani?) nempeleng kontraktor. Jokowi tidak akan berani nempeleng sopir ugal-ugalan. Jokowi tidak akan berani berjalan tanpa “mundhuk-mundhuk” di depan menteri. Apakah Jokowi termasuk yang berani meneruskan program legalisasi perjudian dan pelacuran di Jakarta?

Sandingkan saja Jokowi dan Ali Sadikin…. Dua sosok dengan latar belakang yang berbeda, dengan temperamen yang berbeda, dengan karakter yang berbeda, dengan gaya kepemimpinan yang berbeda, bagaimana mau disandingkan? Jelas Megawati berlebihan. Kalau toh, sekali lagi kalau toh… Jokowi menang Pilkada DKI dan menjadi Gubernur Jakarta…. Katakan pula, kalau toh… sekali lagi, kalau toh pada akhirnya sukses (katakan saja begitu) memimpin Jakarta, satu hal yang pasti, Jokowi tidak akan menggunakan pola kepemimpinan dan cara-cara memimpin Jakarta ala Ali Sadikin.

Jadi, untuk apa, Megawati memberi label “penerus Ali Sadikin” di diri Jokowi?

Sedangkan Ali Sadikin, tidak mendapat stempel apa pun sebelum BungKarno menunjuk kemudian melantiknya sebagai gubernur Jakarta tahun 1966. Satu-satunya label dan stempel yang melekat pada letnan jenderal marinir itu adalah koppig (keras kepala). Satu-satunya statemen Bung Karno (ya, bapaknya Megawati) pun cukup sederhana. Dia bilang kepada Ali saat pelantikannya, “Semua orang akan selalu mengingatnya. Inilah yang telah dilakukan Ali Sadikin. ‘ Dit heft Ali Sadikin gedaan“.

Bukan stempel yang muluk. Bukan pula harapan yang membubung, meski sekarang semua orang meng-amin-i kata-kata Bung Karno. Terbukti, semua orang sekarang mengingat jasa Ali Sadikin untuk Jakarta.

Itu artinya, Jokowi bukan Ali Sadikin!!! Foke? Kalau foto tampang serius plus kumisnya di-crop, ia mirip Hitler…. (roso daras)

0 komentar:

Posting Komentar