Mengapa
julukan Sukarno Kecil harus dilayangkan ke Mahathir Mohammad? Julukan
itu lebih pas untuk Bang Ali (Ali Sadikin). Nah, mari kita berbicara
tentang calon gubernur Jakarta, juga tentang Ali Sadikin, gubernur DKI
Jakarta periode 1966 – 1977.
Kebetulan, namanya selalu saja
disebut-sebut di setiap ajang pemilihan gubernur DKI Jakarta.
Masyarakat, dari yang tahu sampai yang tidak tahu, dengan lidah lepas
dan hati ikhlas menyebut Bang Ali sebagai gubernur Jakarta terbaik
sepanjang sejarah. Dialah yang dijadikan benchmark bagi
gubernur-gubernur atau calon-calon gubernur Jakarta selanjutnya.
Kembali ke soal Bung Karno dan Bang Ali. Bung Karno muncul sebagai
pemimpin bangsa dan negara ini di akhir kekuasaan penjajah. Ali Sadikin,
muncul sebagai pemimpin Jakarta, di akhir masa kekuasaan Orde Lama di
bawah kendali Bung Karno. Keduanya memimpin pada fase transisi. Yang
satu dari era penjajahan ke era kemerdekaan, sedangkan, satunya memimpin
ibukota dari sebuah orde ke orde yang lain. Masa transisi adalah masa
sulit. Zaman berubah bagai dua sisi telapak tangan.
Indonesia
patut bersyukur, karena Tuhan mengaruniakan, setidaknya dua makhluknya,
untuk lahir dan berperan besar pada zamannya. Tak terbayang seandainya
presiden pertama kita bukan Bung Karno. Tak terbayang pula, bagaimana
jika periode 66-77 bukan Ali Sadikin yang memimpin Jakarta. Kedua
mereka, adalah sosok pemimpin yang tegas, visioner, dan… ini yang
terpenting… membumi! Berpijak pada prinsip, dan berpihak pada rakyat.
Bung Karno pun dalam masa perjuangan pernah membuat sejumlah
kontroversi dengan romusha-nya… dengan mempekerjakan pelacur untuk
serdadu Jepang, dan banyak langkah “unik” lainnya. Semasa menjadi
presiden pun, Bung Karno membuat banyak kontroversi dengan kebijakan
luar negerinya yang beringas, dengan gagasan membuat “PBB Tandingan”,
dengan jargon Nasakom, dan banyak kebijakan lain, termasuk ide-ide yang
dinilai sebagian orang sebagai “mercu suar”. Jika dibuat deret hitung,
sangat panjang kebijakan-kebijakan Bung Karno yang sekilas kontroversi,
dan berakhir sanjung dan puji.
Akan halnya Bang Ali…. Dia
dengan berani menentang Menkeu Ali Wardhana dengan menolak membayar
pajak (tentu dengan alasannya). Dia melegalkan perjudian dan
melokalisasi para pelacur di Kramat Tunggak. Dia pernah memerintahkan
membakar jenazah agar areal pemakaman bisa dimanfaatkan untuk
pembangunan kota. Dia tidak berjalan menunduk-nunduk di depan menteri.
Dia bahkan tak segan menempeleng kontraktor yang mbalelo. Bahkan ada
kisah, Bang Ali memerintahkan sopirnya mengejar truk yang ugal-ugalan.
Dihentikannya itu truk, disuruhnya turun itu sopir, dan ditempelenglah
itu sopir. Setelah itu baru dinasihati.
Tidak berhenti di situ.
Sebagai gubernur Jakarta, dia tahu betul kebesaran nama Muhammad Husni
Thamrin sebagai tokoh Betawi yang begitu berjasa dalam pergerakan menuju
kerdekaan Republik Indonesia. Karena itu, ia pampang nama MH Thamrin
untuk jalan protokol Ibukota, dan ia jadikan nama proyek untuk
pembangunan lingkungan Jakarta, atau dikenal dengan Proyek MH Thamrin.
Tentu tidak hanya itu. Di bidang politik. Ia (yang notabene seorang
nasionalis), pernah merasa dipaksa mengetuai Golkar. Itulah kebijakan
Orde Baru yang harus ia jalankan. Maka ia dengan lantang berkata, bahwa
dirinya Golkar. Tetapi sebagai gubernur, ia gubernurnya semua partai. Ia
pun tidak gusar ketika Pemilu 1977, Golkar dikalahkan PPP.
Walhasil, saya resah dengan celoteh Megawati Sukarnoputri yang menyebut
Jokowi sebagai penerus Ali Sadikin. Bagaimana seseorang diberi stempel
selagi belum bekerja? Bagaimana seseorang diberi label selagi belum
terpilih? Menjadi aneh kan, kalau berharap Jokowi meneruskan Ali
Sadikin? Jokowi tidak akan bisa (berani?) nempeleng kontraktor. Jokowi
tidak akan berani nempeleng sopir ugal-ugalan. Jokowi tidak akan berani
berjalan tanpa “mundhuk-mundhuk” di depan menteri. Apakah Jokowi
termasuk yang berani meneruskan program legalisasi perjudian dan
pelacuran di Jakarta?
Sandingkan saja Jokowi dan Ali Sadikin….
Dua sosok dengan latar belakang yang berbeda, dengan temperamen yang
berbeda, dengan karakter yang berbeda, dengan gaya kepemimpinan yang
berbeda, bagaimana mau disandingkan? Jelas Megawati berlebihan. Kalau
toh, sekali lagi kalau toh… Jokowi menang Pilkada DKI dan menjadi
Gubernur Jakarta…. Katakan pula, kalau toh… sekali lagi, kalau toh pada
akhirnya sukses (katakan saja begitu) memimpin Jakarta, satu hal yang
pasti, Jokowi tidak akan menggunakan pola kepemimpinan dan cara-cara
memimpin Jakarta ala Ali Sadikin.
Jadi, untuk apa, Megawati memberi label “penerus Ali Sadikin” di diri Jokowi?
Sedangkan Ali Sadikin, tidak mendapat stempel apa pun sebelum BungKarno
menunjuk kemudian melantiknya sebagai gubernur Jakarta tahun 1966.
Satu-satunya label dan stempel yang melekat pada letnan jenderal marinir
itu adalah koppig (keras kepala). Satu-satunya statemen Bung Karno (ya,
bapaknya Megawati) pun cukup sederhana. Dia bilang kepada Ali saat
pelantikannya, “Semua orang akan selalu mengingatnya. Inilah yang telah
dilakukan Ali Sadikin. ‘ Dit heft Ali Sadikin gedaan“.
Bukan
stempel yang muluk. Bukan pula harapan yang membubung, meski sekarang
semua orang meng-amin-i kata-kata Bung Karno. Terbukti, semua orang
sekarang mengingat jasa Ali Sadikin untuk Jakarta.
Itu artinya, Jokowi bukan Ali Sadikin!!! Foke? Kalau foto tampang serius plus kumisnya di-crop, ia mirip Hitler…. (roso daras)
Posted in: SEJARAH
0 komentar:
Posting Komentar