Tepo Seliro..Unggah-Ungguh..Toto Kromo..Sopan Santun..Andap Asor..Toleransi..Tenggang Rasa dan Budi Pekerti
PERLINDUNGAN KONSUMEN WAJIB DI LAKUKAN SESUAI UU NO 8 TAHUN 1999, UU NO 42 TAHUN 1999, PER.KAPOLRI NO 8 TAHUN 2011 FIF SANGAT TIDAK PATUH TERHADAP ATURAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, FIF TIDAK PERNAH MAU MENGIKUTI ATURAN DAN HUKUM DI WILAYAH RI HAK-HAK KONSUMEN BANYAK YANG TIDAK DIPENUHI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DI SIDOARJO MAYORITAS LEMBAGA PEMBIAYAAN RAMAI-RAMAI KEMPLANG PAJAK, PEMERINTAH DIAM SAJA PEMERINTAH SUDAH TIDAK LAGI MELAKSANAKAN PANCASILA, UU'45 DAN GBHN RAKYAT WAJIB MENDAPATKAN HAK HIDUP YANG LAYAK, SESUAI AMANAT PADA PEMBUKAAN UUD'45 SBY SUDAH LUPA TERHADAP JATI DIRI SEBAGAI BANGSA INDONESIA KEMENGANAN JOKOWI-AHOK ADALAH KEMENANGAN GERINDRA DAN PRABOWO JOKOWI-AHOK BERSIAP MENGHADAPI PARA PELAKU USAHA YANG SULIT DI ATUR

Facebook

ARTIKEL

BIOGRAFI (7) BUDAYA (6) DOWNLOAD (3) Filosofi (1) INFO IKLAN (1) JMI (7) NASIONAL (12) REDAKSI (1) SEJARAH (17) SOSIAL (1)
HTML hit counter - Quick-counter.net SEO Stats powered by MyPagerank.Net Google PageRank Checker Powered by  MyPagerank.Net

Pustaka

Selasa, 24 Juli 2012

PIDATO BUNG KARNO (TAHUN “VIVERE PERICOLOSO”–17 Agustus 1964)


Bung Karno menjelaskan pada rakyat tentang Hukum-Hukum Revolusi. Inilah pemimpin otentik, bukan jenis pemimpin yang nggak mutu dan senang curhat.

Apa hukum-hukum Revolusi itu? Hukum-hukum Revolusi itu, kecuali garis-besar romantika, dinamika, dialektika yang sudah kupaparkan tadi, pada pokoknya adalah :


Pertama, Revolusi mesti punya kawan dan punya lawan, dan kekuatan-kekuatan Revolusi harus tah
u siapa lawan dan siapa kawan; maka harus ditarik garis pemisah yang terang dan harus diambil sikap yang tepat terhadap kawan dan terhadap lawan Revolusi;

Kedua, Revolusi yang benar-benar Revolusi bukanlah “revolusi istana” atau “revolusi pemimpin”, melainkan Revolusi Rakyat; oleh sebab itu, maka Revolusi tidak boleh “main atas” saja, tetapi harus dijalankan dari atas dan dari bawah;

Ketiga, Revolusi adalah simfoninya destruksi dan konstruksi, simfoninya penjebolan dan pembangunan, karena destruksi atau penjebolan saja tanpa konstruksi atau pembangunan adalah sama dengan anarki, dan sebaliknya; konstruksi atau pembangunan saja tanpa destruksi atau penjebolan berarti kompromi, reformisme;

Keempat, Revolusi selalu punya tahap-tahapnya; dalam hal Revolusi kita : tahap nasional-demokratis dan tahap Sosialis, tahap yang pertama meretas jalan buat yang kedua, tahap yang pertama harus dirampungkan dulu, tetapi sesudah rampung harus ditingkatkan kepada tahap yang kedua; - inilah dialektik Revolusi;

Kelima, Revolusi harus punya Program yang jelas dan tepat, seperti dalam Manipol kita merumuskan dengan jelas dan tepat : (A) Dasar/Tujuan dan Kewajiban-kewajiban Revolusi Indonesia; (B) Kekuatan-kekuatan Revolusi Indonesia; (C) Sifat Revolusi Indonesia; (D) Hari-depan Revolusi Indonesia dan (E) Musuh-musuh Revolusi Indonesia. Dan seluruh kebijaksanaan Revolusi harus setia kepada Program itu;

Keenam, Revolusi harus punya soko-guru yang tepat dan punya pimpinan yang tepat, yang berpandangan jauh kemuka, yang konsekwen, yang sanggup melaksanakan tugas-tugas Revolusi sampai pada akhirnya, dan Revolusi juga harus punya kader-kadernya yang tepat pengertiannya dan tinggi semangatnya.

Bang Ali, Bung Karni Kecil, (Roso Daras)

Mengapa julukan Sukarno Kecil harus dilayangkan ke Mahathir Mohammad? Julukan itu lebih pas untuk Bang Ali (Ali Sadikin). Nah, mari kita berbicara tentang calon gubernur Jakarta, juga tentang Ali Sadikin, gubernur DKI Jakarta periode 1966 – 1977.

Kebetulan, namanya selalu saja disebut-sebut di setiap ajang pemilihan gubernur DKI Jakarta. Masyarakat, dari yang tahu sampai yang tidak tahu, dengan lidah lepas dan hati ikhlas menyebut Bang Ali sebagai gubernur Jakarta terbaik sepanjang sejarah. Dialah yang dijadikan benchmark bagi gubernur-gubernur atau calon-calon gubernur Jakarta selanjutnya.

Kembali ke soal Bung Karno dan Bang Ali. Bung Karno muncul sebagai pemimpin bangsa dan negara ini di akhir kekuasaan penjajah. Ali Sadikin, muncul sebagai pemimpin Jakarta, di akhir masa kekuasaan Orde Lama di bawah kendali Bung Karno. Keduanya memimpin pada fase transisi. Yang satu dari era penjajahan ke era kemerdekaan, sedangkan, satunya memimpin ibukota dari sebuah orde ke orde yang lain. Masa transisi adalah masa sulit. Zaman berubah bagai dua sisi telapak tangan.

Indonesia patut bersyukur, karena Tuhan mengaruniakan, setidaknya dua makhluknya, untuk lahir dan berperan besar pada zamannya. Tak terbayang seandainya presiden pertama kita bukan Bung Karno. Tak terbayang pula, bagaimana jika periode 66-77 bukan Ali Sadikin yang memimpin Jakarta. Kedua mereka, adalah sosok pemimpin yang tegas, visioner, dan… ini yang terpenting… membumi! Berpijak pada prinsip, dan berpihak pada rakyat.

Bung Karno pun dalam masa perjuangan pernah membuat sejumlah kontroversi dengan romusha-nya… dengan mempekerjakan pelacur untuk serdadu Jepang, dan banyak langkah “unik” lainnya. Semasa menjadi presiden pun, Bung Karno membuat banyak kontroversi dengan kebijakan luar negerinya yang beringas, dengan gagasan membuat “PBB Tandingan”, dengan jargon Nasakom, dan banyak kebijakan lain, termasuk ide-ide yang dinilai sebagian orang sebagai “mercu suar”. Jika dibuat deret hitung, sangat panjang kebijakan-kebijakan Bung Karno yang sekilas kontroversi, dan berakhir sanjung dan puji.

Akan halnya Bang Ali…. Dia dengan berani menentang Menkeu Ali Wardhana dengan menolak membayar pajak (tentu dengan alasannya). Dia melegalkan perjudian dan melokalisasi para pelacur di Kramat Tunggak. Dia pernah memerintahkan membakar jenazah agar areal pemakaman bisa dimanfaatkan untuk pembangunan kota. Dia tidak berjalan menunduk-nunduk di depan menteri. Dia bahkan tak segan menempeleng kontraktor yang mbalelo. Bahkan ada kisah, Bang Ali memerintahkan sopirnya mengejar truk yang ugal-ugalan. Dihentikannya itu truk, disuruhnya turun itu sopir, dan ditempelenglah itu sopir. Setelah itu baru dinasihati.

Tidak berhenti di situ. Sebagai gubernur Jakarta, dia tahu betul kebesaran nama Muhammad Husni Thamrin sebagai tokoh Betawi yang begitu berjasa dalam pergerakan menuju kerdekaan Republik Indonesia. Karena itu, ia pampang nama MH Thamrin untuk jalan protokol Ibukota, dan ia jadikan nama proyek untuk pembangunan lingkungan Jakarta, atau dikenal dengan Proyek MH Thamrin.

Tentu tidak hanya itu. Di bidang politik. Ia (yang notabene seorang nasionalis), pernah merasa dipaksa mengetuai Golkar. Itulah kebijakan Orde Baru yang harus ia jalankan. Maka ia dengan lantang berkata, bahwa dirinya Golkar. Tetapi sebagai gubernur, ia gubernurnya semua partai. Ia pun tidak gusar ketika Pemilu 1977, Golkar dikalahkan PPP.

Walhasil, saya resah dengan celoteh Megawati Sukarnoputri yang menyebut Jokowi sebagai penerus Ali Sadikin. Bagaimana seseorang diberi stempel selagi belum bekerja? Bagaimana seseorang diberi label selagi belum terpilih? Menjadi aneh kan, kalau berharap Jokowi meneruskan Ali Sadikin? Jokowi tidak akan bisa (berani?) nempeleng kontraktor. Jokowi tidak akan berani nempeleng sopir ugal-ugalan. Jokowi tidak akan berani berjalan tanpa “mundhuk-mundhuk” di depan menteri. Apakah Jokowi termasuk yang berani meneruskan program legalisasi perjudian dan pelacuran di Jakarta?

Sandingkan saja Jokowi dan Ali Sadikin…. Dua sosok dengan latar belakang yang berbeda, dengan temperamen yang berbeda, dengan karakter yang berbeda, dengan gaya kepemimpinan yang berbeda, bagaimana mau disandingkan? Jelas Megawati berlebihan. Kalau toh, sekali lagi kalau toh… Jokowi menang Pilkada DKI dan menjadi Gubernur Jakarta…. Katakan pula, kalau toh… sekali lagi, kalau toh pada akhirnya sukses (katakan saja begitu) memimpin Jakarta, satu hal yang pasti, Jokowi tidak akan menggunakan pola kepemimpinan dan cara-cara memimpin Jakarta ala Ali Sadikin.

Jadi, untuk apa, Megawati memberi label “penerus Ali Sadikin” di diri Jokowi?

Sedangkan Ali Sadikin, tidak mendapat stempel apa pun sebelum BungKarno menunjuk kemudian melantiknya sebagai gubernur Jakarta tahun 1966. Satu-satunya label dan stempel yang melekat pada letnan jenderal marinir itu adalah koppig (keras kepala). Satu-satunya statemen Bung Karno (ya, bapaknya Megawati) pun cukup sederhana. Dia bilang kepada Ali saat pelantikannya, “Semua orang akan selalu mengingatnya. Inilah yang telah dilakukan Ali Sadikin. ‘ Dit heft Ali Sadikin gedaan“.

Bukan stempel yang muluk. Bukan pula harapan yang membubung, meski sekarang semua orang meng-amin-i kata-kata Bung Karno. Terbukti, semua orang sekarang mengingat jasa Ali Sadikin untuk Jakarta.

Itu artinya, Jokowi bukan Ali Sadikin!!! Foke? Kalau foto tampang serius plus kumisnya di-crop, ia mirip Hitler…. (roso daras)

AMANAT PRESIDEN SOEKARNO


Merah Putih Berkibar


LAMBANG DAN LOGO

LAMBANG DAN LOGO 
PRESIDIUM RAKYAT JAS MERAH INDONESIA

GARDOE : KOMPLEK KAHURIPAN NIRWANA BLOK AA 4 NO 02, JATI-SIDOARJO
JAWA TIMUR 
TLP : 031-70299945, 0816558879

Senin, 23 Juli 2012

Soekarno Lahir di Soerabaja, bukan di Blitar!


Untuk kesekian kalinya, anak muda Indonesia masih ada yang bertanya, “Di mana Bung Karno dilahirkan? Blitar atau Surabaya?” Sedih sekaligus senang mendengar pertanyaan itu. Menyedihkan, betapa bapak bangsa tidak dikenali di mana kelahirannya oleh generasi penerusnya. Ada yang salah dalam proses berjalannya sejarah di negeri ini. Ihwal rasa senang yang membuncah, karena si muda tidak malu untuk bertanya. Baiklah. Kita mengilas balik sejarah kelahiran Bung Karno, dari “geger” pernikahan beda suku, beda agama antara Raden Soekeni Sosrodihardjo yang Islam Theosof dan berasal dari Jawa, dengan Ida Ayu Nyoman Rai yang Hindu dan berasal dari Gianyar, Bali. Untuk menikahi Idayu secara Islam, maka Idayu terlebih dulu harus masuk Islam. Satu-satunya jalan bagi mereka adalah kawin lari.

Seperti penuturan Bung Karno dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams, bahwa untuk kawin lari menurut kebiasaan di Bali, harus mengikuti tata-car tertentu. Kedua “merpati” itu bermalam di malam perkawinannya di rumah salah seorang kawan. Sementara itu dikirimkan utusan ke rumah orangtua si gadis untuk memberitahukan bahwa anak mereka sudah menjalankan perkawinannya.

Soekeni dan Idayu mencari perlindungan di rumah Kepala Polisi yang menjadi kawan Soekeni. Keluarga Idayu kemudian datang hendak menjemput mempelai wanita, tetapi Kepala Polisi tidak mau melepaskan. “Tidak, dia berada dalam perlindungan saya,” katanya.

Saat tiba mereka harus dihadapkan ke pengadilan, Idayu pun sempat ditanya oleh hakim, “Apakah laki-laki ini memaksamu, bertentangan dengan kemauanmu sendiri” Dan Idayu menjawab, “Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri.” Maka, tiada pilihan bagi mereka untuk mengizinkan perkawinan itu. Sekalipun demikian, pengadilan mendenda Idayu 25 ringgit, yang nilai sama dengan 25 dolar ketika itu. Idayu mewarisi beberapa perhiasan emas, dan untuk membayar denda itu, ia menjualnya.

Tak lama setelah pernikahan mereka, sekitar tahun 1900, Soekeni mengajukan permohonan pindah tugas ke wilayah Jawa. Pemerintah mengabulkan, dan memindahkan Soekeni ke Surabaya. Keluarga muda ini tinggal di Gang Pandean IV Nomor 40, Peneleh, Surabaya. Di sanalah Putra Sang Fajar dilahirkan. (roso daras)

Minggu, 01 Juli 2012

TEKS PROKLAMASI 45



PANCASILA


FORMULIR ANGGOTA A2

FORMULIR ANGGOTA A1

STRUKTUR PRESIDIUM JAS MERAH INDONESIA



PRESIDIUM JAS MERAH INDONESIA

DEWAN PRESIDIUM

KETUA PRESIDIUM

SEKRETARIS JENDERAL

SEKRETARIS 1

BENDAHARA UMUM

BENDAHARA 1

DIVISI PRESIDIUM JAS MERAH INDONESIA

1.     DIVISI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
2.     DIVISI PENGABDIAN MASYARAKAT
3.     DIVISI LINGKUNGAN
4.     DIVISI PELAYANAN PUBLIK
5.     DIVISI KAJIAN PUBLIK DAN INFORMASI PUBLIK 
6.     DIVIS INVESTIGASI DAN AUDIT
7.     DIVISI PERLINDUNGAN  KONSUMEN
8.     DIVISI PERLINDUNGAN BURUH
9.     DIVISI UJI KELAYAKAN DAN UJI MATERI
10.   DIVISI ADVOKASI
11.    DIVISI HUBUNGAN MASYARAKAT DAN LEMBAGA
12.   DIVISI KEPEMUDAAN DAN WANITA
13.   DIVISI BELA NEGARA
14.   DIVISI KEMITRAAN DAN KERJASAMA

FORMULIR PENGADUAN SENGKETA KONSUMEN